Cemburu. Seringkali kata
ini dianggap sebagai kambing hitam terkoyaknya hubungan suami istri.
Percayalah, tidak selamanya asumsi itu benar. Sebab cikal-bakal cinta sejati,
berdirinya rumah-tangga yang kokoh, lahirnya juga dari sifat cemburu.
Cemburu itu bumbu cinta.
Bumbu yang akan lebih menyedapkan romantika dalam bercinta. Rasulullah mencela
seorang suami yang tidak mempunyai rasa cemburu. Atau sebaliknya isteri yang
bukan pencemburu. Istilahnya dayyus.
Alkisah, Aisyah pernah
cemburu lantaran Rosul berulang-ulang menyebut kebaikan Khadijah binti
Khuwailid, isteri pertama beliau saw. "Rasulullah jika mengingat Khadijah,
tak bosan-bosannya memuji dan beristighfar untuknya. Hingga pada suatu hari
beliau menyebut-nyebutnya yang membuatku terbawa oleh rasa cemburu. Aku
berkata, 'Allah telah menggantikan yang lanjut usia itu bagimu.' Aku saksikan
beliau sangat marah. Aku sangat menyesal sambil berdoa dalam hati: Ya Allah,
jika Engkau hilangkan kemarahan RasulMu terhadapku, aku tak akan lagi
menyebutkan kejelekannya," kisah Aisyah.
Masih dari kisah yang
sama, disebutkan Rosul marah mendengar ucapan istrinya yang masih belia dan
rupawan itu, seraya berkata, "Apa yang kau katakan? Demi Allah, ia beriman
ketika orang-orang mendustakan aku. Ia melindungi ketika orang-orang menolakku.
Darinya aku dikaruniai anak-anak dan tidak aku dapatkan dari kalian."
Melihat reaksi suaminya,
jelas Aisyah terpagut. Ia tak menyangka Rasul sekeras itu menanggapi
perkataannya. Sebuah ekspresi kecintaan luar biasa Nabi pada Khadijah, yang
kian membakar tungku kecemburuan Aisyah. Khadijah ra, umul mukminin berakhlaq
agung, memang patut mendapat cinta Nabi. Tapi justru kecemburuan itu yang
akhirnya memicu Aisyah berazam kuat untuk menapaki jejak sukses Khadijah merebut
cinta agung Rosulullah saw.
Cemburu, selain ia
sebagai indikator fenomena fitrah insaniyah, sikap itu memang sesuatu yang
disunahkan Nabi. Dalam makna lebih luas, kelangsungan ekosistem fitrah alam pun
sesungguhnya juga terkait erat dengan sifat cemburu.
Kita tidak bisa
membayangkan, apa yang bakal terjadi pada dunia manusia bila mereka tak lagi
memiliki rasa cemburu. Dalam etika pergaulan pasangan suami istri, jelas ia
wajib ada. Suami yang tak pernah cemburu melihat istrinya keluyuran malam hari
sendirian misalnya. Atau cuek melihat istrinya pindah dari pangkuan satu lelaki
ke pangkuan lelaki lain. Jelas ini merupakan fenomena rusaknya fitrah seorang
insan.
Hilangnya perasaan
cemburu dari diri manusia tak lain lantaran, manusia terus-menerus memperturutkan
hawa nafsunya. Alquran mengisyaratkan hal itu. "Maka datanglah sesudah
mereka pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan
hawa nafsunya. Maka kelak mereka akan menemui kesesatan." (QS 19:59)
Padahal turunan dari
perilaku selalu memperturutkan hawa nafsu, adalah tercampaknya rasa malu dari
dalam diri manusia. Itulah yang kini terjadi dalam pergaulan masyarakat Barat
yang telah rusak. Ironinya, radiasi kerusakan itu telah merambah luas ke
masyarakat Indonesia, khususnya kalangan muda-mudi. Kata Nabi, "Kalau
engkau sudah tidak punya rasa malu, maka lakukan apa saja sesukamu."
Dalam tinjauan aqidah,
malu dan iman merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisah. Sebuah hadist
mengatakan, "Dari Imron bin Hushoin ra berkata: Rasulullah saw bersabda,
malu itu tidak menimbulkan sesuatu kecuali kebaikan samata." (HR
Bukhori-Muslim)
Di hadist lainnya
diriwayatkan, "Abu Hurairoh ra berkata: Rasulullah saw bersabda, 'Iman itu
lebih dari 70 atau lebih dari 60 cabang rantingnya, yang terutamanya adalah
kalimat Laa Ilaha Illallah. Serendah-rendahnya yaitu menyingkirkan gangguan
dari tengah jalan. Dan rasa malu adalah bagian dari iman.'"
Yang pasti, malu adalah
batas pembeda yang tegas antara manusia dengan binatang. Wajar binatang tidak
punya rasa malu, karena ia tidak dikaruniai Allah swt nalar dan perasaan. Tapi
jangan lupa binatang masih punya rasa cemburu. Lihatlah betapa kuatnya cemburu
seekor merpati jantan pada pasangannya. Ia akan marah bila pasangannya direbut
rekannya. Kalau demikian, apa yang kita bisa katakan pada manusia yang tidak
lagi memiliki rasa cemburu dan malu?
Dari sini kita tau kenapa
Alquran begitu sarkas mengecam manusia-manusia yang telah menjadi budak nafsu.
"Ulaika kal an'am, balhum adhol" - "Mereka bagaikan binatang
ternak, bahkan lebih hina lagi". Bukankah di dunia ayam misalnya, tak
pernah terjadi ayam jantan dewasa memperkosa anak ayam perempuan? Bukankah tak
pernah terjadi perilaku homo atau lesbi dalam dunia kerbau atau keledai?
Jika demikian kita boleh
tarik satu konklusi, cemburu-malu-iman, pada hakikatnya berada pada satu garis
linear. Sesungguhnyalah ketiga unsur itu menjadi satu senyawa yang menimbulkan
gairah hidup manusia untuk memelihara kehormatan dan meningkatkan amaliahnya.
Kecemburuan Aisyah pun akhirnya
berujung pada tekad kuatnya untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas
amalnya. Sebab Aisyah menyadari bahwa hanya dengan modal cantik jasmani semata,
ia tak mungkin mampu merebut cinta agung Rasulullah. Ia harus mempercantik
bathinnya, mempercantik akhlaknya, mempercantik amalnya, dan mempercantik
lisannya. Ini sebuah kecemburuan positif dan konstruktif.
Seharusnyalah para istri
maupun suami harus cemburu ketika ia tak mendapatkan perhatian dan cinta dari
pasangannya. Kalau terjadi kasus demikian, jangan dulu kalap dan menyalahkan
pasangannya. Cobalah lakukan evaluasi dan kontemplasi. Jangan-jangan pemicunya
adalah, lantaran keadaan masing-masing dalam kondisi stagnan. Tidak pernah ada
peningkatan kualitas fisik, kualitas amal, apalagi kualitas akhlak dalam
berumah tangga (misalnya berkomunikasi secara mesra) pada masing-masing pihak.
Adalah keliru cemburu
dibalas oleh dendam, yakni dengan cara mempertontonkan perilaku urakan dan
tercela. Misalnya marah-marah lalu menggaet perempuan/laki-laki lain dan
mempertontonkannya secara demonstratif di depan pasangannya. Na'udzubillah min
dzalik. Inilah yang terjadi pada dunia Barat saat ini, yang telah penuh sesak
dengan kasus-kasus perselingkuhan. Berapa ratus bahkan ribu rumah-tangga yang
broken home. Kemudian dari situ lahir generasi-generasi yang secara turun
temurun mengukuhkan tradisi bejad: seks bebas.
Cemburu itu bumbu cinta.
Karena itu jadikan dia sebagai penyedap sekaligus pemacu semangat mengubah diri
ke arah positif dan konstruktif. Tapi hati-hati cemburu bisa jadi petaka, kalau
masing-masing pihak tidak pernah merujukkan persoalannya pada rambu-rambu iman
dan akhlaq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar