Jumat, 29 Juni 2012

A Short Studying English Experience at Pare


A Short Studying English Experience at Pare
Pare is a district in Kediri regency, East Java Province. Located 25 km Northeast of Kediri, or 120 km southwest of Surabaya. Pare especially Tulungrejo Village is also known as a potential place for the development of English classes. Currently, there are more popping up various types of tutoring courses, especially English. More than 20 tutoring agencies offer English classes or short courses during vacation. In this case, the town of Pare as a center of learning English which are cheap, efficient and effective had been known well all over the Java Island and even farther. As the following associated effect, in Tulungrejo now appear various types of lodging and boarding house that accommodates both students and workers. Boarding rates per person vary from 50 thousand to 200 thousand per month.
In the end of 2010 year, some of my friend had properly constructed to go to Pare, Kediri. Of course, we just have one purpose, learning English. We know, we do not have good ability in using English. Whereas, we need English for our lectures at University. Therefore, everyday, we have to read so many journals that are used in the class. Therefore, mastering English is just like our obligation.
In early January 2011, we went to Pare for a survey. We went there by train from Gubeng Railway Station, Surabaya. We arrived there at 07.00 a.m. directly, we were looking for some course places that offered English, French, and Chinese class. We went through Pare’s entire corner by bicycle. We rented it for 5.000 thousand rupiahs per day. We spent 7 hours to find all of the course places, boarding house and etc. At 4.00 p.m. We went back to Surabaya by bus. That was very exhausting day.
In the last week of January, precisely on 25 January, we went to Pare to start our course. That was great. I found many new friends from entire places. I took speaking and grammar classes. In my wish, I can speak English fluently or, at least it can support my studying activities. I had to live there for a month. With my great friends Amy, Ella, Henny, Azzah, Ita. Although I do not have sophisticated ability, at least I have sophisticated experiences here. I rode a bike in the dark night among sugar cane farm. I had to bike so far just to withdraw my money in the ATM. I slept under the ducks smell almost every day. I study in half-build class. I ate food with cheaper price than in Surabaya.
My speaking class was great too. We spoke about many things. In the morning, we usually spoke about the art of speak such as linking sound, American pronunciations, idiom, and many more. In the evening, we discussed or debated something. That was very amazing. We spent our time, all day long, with laugh and fun conversation.



Torehan Hati



**Cinta Sebatas Merpati**

Takkan ku tangisi Cinta yang pergi
Karna Cinta sebatas sang merpati
Terbang kemanapun sesuka hati
Lalu hinggap tuk mengisi hati

Kan ku tunggu saat merpati itu datang lagi
Mengisi ruang batinku bersemayam di hati
Akan ku rawat dan ku jaga dia selalu
Agar tak lagi terbang tuk meninggalkanku


**Tetap Yang Terindah**

Aku yang mencintaimu
Selalu mendamba setetes kasihmu
Mengejar bayang cintamu
Merengkuh gelora rindumu

Hati yang tersayat kedustaan
Palsu cinta kau tenamkan
Hati bertabur kepedihan
Namun kau tetap terindah dan berkesan

Kau hadirkan tawa 
Sirnakan sepi dan duka
Kau alirkan mata air cinta
Buatku tersenyum 
gembira

Selalu aku simpan dalam catatan
Seribu kata kenangan
Meski kini aku kau lupakan
Namun kau tetap ku sematkan

Kini hanya doa yang kupanjatkan
Kau selalu dalam kebahagiaan
Senantiasa kasih terlimpahkan
Semoga kau selalu dalam senyuman


**Adakah Hati Memagut Kuntum Rindu**

Selepas guratan rasa terpahat dipenghujung malam
Pagi menjelang hari-hari tanpa ada sisa ruang tuk sejenak memanjakan hati..
Bernyanyi dan menarikan gejolak rasa dalam puisi cinta..

Setelah sepekan kegersangan melanda sukma
Ingin rasanya kumandikan kerontang persada jiwa
Biar basah dalam peluk dawai asmara

Adakah setangkai hati yang erat memagut kuntum rindu...
Kiranya raib sinarkupun tidaklah begitu berarti...


**Sejenak**

sejenak....
di tempat itu ku terhenti,
terpatri di kesunyian hatimu.
tanpa rindu.

sejenak .....
ditempat itu ku menepi
menyayat di kepedihan hatiku
tanpa dirimu.

sejenak ....
dihati mu ku tertahan
dan tak beranjak pergi 
tanpa berharap kembali 

keinginan tuk menyisihkanmu dalam kalbu
hanya melemparku menjauh dari raga
rindu yang terpendam......
menghanyutkan aku dalam kegalauan jiwa.

aku .......
tertahan dihitamnya hatimu.
terpatri dikelamnya cintamu....
Namun dirimu??


**Semanis Madu Sepahit Empedu**

Janji mulut berduri
Terasa menusuk hati
Seribu janji terucapkan
Sejuta pula diingkarkan

Semanis madu rayuan
Sepahit empedu kenyataan
Hanya sebuah kepalsuan
Kedustaan yang diberikan

Berkata IYA sekarang
Bilang TIDAK esok petang
Ucapan yang menjengkelkan
Dongkol dalam hati ku rasakan

Cintamu hadirkan sejuta mimpi
Membuai khayalan tak bertepi
Namun semua tak pernah pasti
Tak pernah ada bukti

Janjimu janji busuk
Di hati terasa menusuk
Akan ku buang seribu janji
Biar ku kubur dalam hati


**YANG LALU**

Biar kulewati sepi ketika malam berlalu sunyi
Sembari kurenungkan hari yg kulewati
Dan pada lembar putih tlah kucoret kisah yg lalu

Diujung pena..
Tinta dengan latah melukis cerita silam
Meski masa~masa keruh melintas ditiap pembilang kembali mengenang

T'lah pun kueja pada pengharapan
Dan kucoba meredam kelu akan kegagalan

Perlahan kuhapus..
meski membekas pilu kan kucari makna baru dihamparan waktu

Diesok hari yg cerah mengiring langkah
Dan semoga berlalu dengan segala anugrah


** ANDAI SAJA **

Hening ini diam tak bergeming…
Masih tetap setia…
Menjelma…
Antara muramnya mega Dan beribu sesalku…
Mengelam di dada…

Andai..
Andai saja..
Bisa ku petik ribuan kerlip indah kejora..
Tentu tak akan..
Malam ku berselimut duka...

Karna..
Tentu kan ku sanding bias terangnya..
Sebagai pengganti lentera hatimu..
Yang tak lagi nyalanya untuk aku..

Namun nyatanya berbeda..
Masih saja..
Senyap ini ku nikmati sendiri..
Hingga...
Terbentang jelas tanpa sekat...
Panorama luka...
Sampai hatiku teriak dalam bungkam nya..

Duhai masa laluku...
Tak adakah lagi sekelumit rasa itu untuk ku..
Walau sekedar sandiwara..
Walau hanya senyuman hampa..
Sekedar penawar luka..

Agar sedikit dapat ku hirup angin segar..
Menerpa jiwa...


**Mengertilah**

Tentang rasaku,
Hargai ketulusanku,
Jangan pandangku sebelah mata,
Tak menganggap hadirku ada..

Mengertilah apa yang kurasa,
Jangan hanya ingin dimengerti,
Sudah butakah mata hatimu melihatku,
Atau tulikah pendengaranmu dengarkan suaraku..

Yang tak mampu lagi,
Melihat ketulusanku,
Mendengar suara cintaku,
Oh sungguh kejam kau membalas cintaku..

Dulu kau ajarkan aku mencintaimu,
Kenalkan aku kebahagiaan,
Kini kau pula ajarkanku derita,
Oh tak kusangka kau srigala berbulu domba..

Bibirmu indah tapi lidahmu berduri kemunafikan........


**Ketulusanku**

Dalam diamku ada ketulusan
Dalam diamku slalu merindukan
Dalam diamku slalu penuh pengharapan
Dalam diamku berdo'a untk kekasih pujaan

Terkadang aku sungguh terasa sepi
Terkadang rindu perih menyayat hati
Terkadang menjerit lirih sanubari
Namun cintaku slalu sabar menanti

Aku mencintaimu bukan karena nafsu
Aku menyayangimu bukan karena parasmu


** Di jalan Sepi ( Ku Berkata) **

Lelah langkah mengayun luka
Terengah nafas menahan perihnya kecewa
Setiap pijakan beralas duri - duri tentangmu
Mengunjam dalam tapak malam

 Yang dulu hening dengan senyuman
Kini gelap tak terhibur
Dan yang dulu pekat dengan asmara
Kni gulita dalam pejaman duka

 Kasih
Tiada lagi yang berharga 
hidupkupun terasa tak berarti
Setelah hadirmu berlalu
Seribu rasa kecewa mencoret 
helaian hati

Jiwa ku semu
Tak lagi tampak itu indahnya bahagia
Dulu ku kira kau adalah sosok yang ku cari
Ku anggap sebagai pecinta sejati

Namun nyatanya
Salah ku menilaimu
Sedikit kau buat hidupku bermakna
Lalu di lanjutakn terus ku tersakiti

 Sepanjang di jalan sepi ini
Kenapa bayang - bayangmu 
masih menuntun benakku
Pada langit dan bumi ku bertanya

Inikah lukisanmu untuk kenangan ku
Gemuruh suara mencoba mengundang 
mendungmu hapuskanlah bayangnya
Dengan derai hujan ku temani 
dengan tangis mengharap tentangmu 
tak lagi menghantui setiap waktu 
ku teringin tuk melupakanmu 
kasih


**MENGERTILAH**

Ada saatnya ku mengerti
Adakalanya kau harus mengerti
Pada saatnya nanti ku pergi
Ku ingin kau menyadari, cintaku tulus dari hati

Bila saatnya tiba
Pastikan datang waktunya
Memahami cinta yang ada
Menyadari memang itu seharusnya

Biarlah semua berjalan apa adanya
Berlalu dengan semestinya
Dan berakhir dengan seharusnya
Karna cinta, terkadang tak cukup dengan logika

Kamu memang bukan yang pertama yang mengisi hatiku
tapi kamu yang telah mengisi seluruh pikiranku
entah apa kenapa perasaan dan pikiran ini hanya tertuju padamu,
memoriku terus dan terus dihiasai semua kenangan yang kau berikan padaku
laksana bunga yang haus akan embun pagi yang memberikan kesegaran
begitu juga diriku yang selalu haus akan semua cinta yang kau beri padaku,

Nasikh dan mansukh

Nasikh Dan Mansukh
NASIKH DAN MANSUKH
Oleh
Ustadz Muslim Al-Atsari
Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam:
Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”. [1]
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya”. [2]
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”. [3]
Kedua : Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”. [4]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, [5] mutlaq, [6] zhahir, [7] dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”. [8]
Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.
PENUNJUKKAN ADANYA NASKH DALAM SYARI’AT
Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.
Dalil Naql
Firman Allah Azza wa Jalla.

مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايٍَ
Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)... [Al Baqarah:106]
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir [Lihat Taffsir Ibnu Katsir, surat Al-Baqarah: 106]
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mu’jizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan rahimahullah, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas. Wallohu a’lam.
Firman Allah Azza wa Jalla

وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ
Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An Nahl:101]
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan pengganti adalah naasikh, ayat yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Alloh. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Akal.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki? Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [Ushul Fiqih, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin]
Dalil Ijma’.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’”. [9]
Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at)”. [10]
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya, sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya. Maka penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada dalil untuknya”. [hal: 148]
Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para sahabat Radhiyallahu 'anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa syari’at Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghapus seluruh syari’at yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma’ bahwa naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan terjadinya hal itu cukup sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh menurut akal-red)”. [Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi]
Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat atas kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya menurut syara’. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin Bahr Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah yang mati tahun 322 H”. [11]
MACAM-MACAM NASKH
Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian: [12]
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal :65]
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.

الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al Anfal :66]
Abdullah bin Abbas berkata::

لَمَّا نَزَلَتْ ( إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) شَقَّ ذَلِكَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ حِينَ فُرِضَ عَلَيْهِمْ أَنْ لَا يَفِرَّ وَاحِدٌ مِنْ عَشَرَةٍ فَجَاءَ التَّخْفِيفُ فَقَالَ ( الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضُعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) قَالَ فَلَمَّا خَفَّفَ اللَّهُ عَنْهُمْ مِنَ الْعِدَّةِ نَقَصَ مِنَ الصَّبْرِ بِقَدْرِ مَا خُفِّفَ عَنْهُمْ
Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (Al-Anfal: 66) Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi-red), kesabaranpun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka”. [HR.Bukhari, no: 4653]
Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. [13] Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah. [14]
Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam. [15]
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Alloh turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rojm di dalam Taurat”. [16]
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm [17] Umar bin Al-Khoththob berkata:

لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَطُولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ حَتَّى يَقُولَ قَائِلٌ لَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ أَلَا وَإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى وَقَدْ أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ قَالَ سُفْيَانُ كَذَا حَفِظْتُ أَلَا وَقَدْ رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ
Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rojm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku ingat”. “Ingatlah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan kita telah melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no: 1691; dan lainnya
Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:

الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat Fathul Bari, 12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits no: 6829]
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:

كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya. [18]
Kedua : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) –secara ringkas- ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. [19]
Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah kami sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Mujadilah :12]
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya:

ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah:13]
2. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata:
“(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”. [20]
b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi. Contohnya:
Firman Allah Azza wa Jalla.

قُل لآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ
Katakanlah:"Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah. [Al An’am :145]
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini diturunkan- hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khoibar.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتِ الْحُمُرُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فِي النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ فَأُكْفِئَتِ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam didatangi oleh seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian beliau memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan orang banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu dari daging keledai jinak, sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu mendidih (berisi) daging (keledai jinak). [21]
Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai jinak tidak bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas turun, daging keledai jinak halal, karena yang diharamkan hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang pengharaman daging keledai jinak. [Mudzakiroh, hal: 153-155]
3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]
4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Contoh: Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur). [HR. Muslim, no: 977]
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya.
Demikian, semoga bermanfaat

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat: Al-Minhaj Bi Syarhil Ibhaaj 2/247; dinukil dari Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 412-413, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[2]. Idem, hal: 413
[3]. Ushulul Fiqh, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
[4]. [I’lamul Muwaqqi’in 1/36, Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 M
[5]. ‘Am adalah: lafazh yang meliputi seluruh apa yang pantas baginya sekaligus dan sesuai
dengan bentuknya dengan tanpa pembatasan”. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 95, Syaikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[6]. Muthlaq adalah: lafazh yang mengenai satu yang tidak tertentu dalam kedudukan hakekat yang mencakup terhadap jenisnya. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 90
[7]. Zhahir adalah: lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, namun lebih nampak pada salah satunya, mungkin dari sisi syara’ atau bahasa atau ‘urf (kebiasaan). Lihat: Taisirul Ushul, hal: 32
[8]. Idem
[9]. Ihkamul Fushul, hal: 391, dinukil dari 421
[10]. At-Tahrir bi Syarhit Taisir 3/181, dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 421, karya Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[11]. Taisirul Ushul, hal: 216
[12]. Lihat: Mudzakirah Ushulul Fiqh ‘Ala Raudhatun Nazhir, hal: 127, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, tahqiq: Abu Hafsh Sami Al-‘Arabi, Darul Yaqin,; Ushulul Fiqh, hal: 47-48, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170-173, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan; Taisirul Ushul, hal: 214-216, Syeikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anfal 65-66
[14]. Al-Ihkaam 3/154, karya Al-Amidi ; dinukil dari Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal:
170, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[15]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 171, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[16]. Ushul Fiqh, hal: 48, karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin
[17]. Yaitu had (hukuman) bagi pezina yang sudah menikah dengan dilempari batu sampai mati
[18]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[19]. Lihat: Mudzakirah ‘Ala Ushul Fiqh, hal: 148, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Syinqithi
[20]. Mudzakiroh Ushul Fiqih, hal: 150
[21]. HR. Bukhari, no: 5528; Muslim, no: 1940 (3

muhkam dan mutasyabih

Muhkam dan Mutasyabih (1)
Posted in Ushul Tafsir by aban8neidi | Ushul Tafsir
Dipandang dari satu sisi, al-Qur’an itu semuanya muhkam; Dari sisi yang lain, semuanya mutasyabih; Dan dari sisi yang lain, sebagian dari al-Qur’an itu muhkam, sementara sebagiannya lagi mutasyabih.
Pembahasan tentang muhkam dan mutasyabih ini sangat penting. Karena betapa banyak orang yang tersesat akibat salah memahami kalamullah, tidak bisa membedakan antara yang muhkam dan mutasyabih atau salah dalam menyikapi keduanya.
Muhkam dan mutasyabih termasuk diantara sifat yang Allah ‘Azza Wa Jalla tetapkan untuk al-Qur’an. Keduanya memiliki makna yang berbeda-beda. Berikut penjelasannya.
a. Al-Qur’an, semuanya muhkam
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman :

Alif Laam Raa, [inilah] suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi [Allah] yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu (QS. Hud /11:1)
Dengan gamblang, disebutkan dalam ayat diatas bahwa semua ayatnya muhkam, jadi muhkam merupakan sifat bagi al-Qur’an secara keseluruhan. Inilah yang dinamakan oleh para Ulama dengan ihkamun ‘am. Muhkam disini maksudnya adalah al-Qur’an itu sangat sempurna dan tertata dengan susunan yang paling rapi. Semua berita yang terkandung dalam al_qur’an adalah benar, tidak ada kontradiksi sama sekali. Perintah-perintah yang termaktub dalam al-Qur’an, semua mendatangkan kebaikan dan barokah. Sebaliknya, semua larangan yang disebutkan dalam al-Qur’an tidak ada yang terlepas dari keburukan, bahaya dan perilaku yang hina. Inilah yang dinamakan ihkam ‘am.
b. Al-Qur’an, semuanya mutasyabih
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman :
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik [yaitu] Al Qur’an yang serupa [mutu ayat-ayatnya] lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah (QS.az-Zumar/39:23)
Mutasyabih, sifat yang disematkan pada al-Qur’an pada ayat di atas dinamakan tasyabuh (serupa) ‘am. Maksudnya, semua ayat yang terkandung dalam al-Qur’an serupa atau sama dalam masalah keindahan, kebenaran, kandungannya terhadapat nilai-nilai luhur yang mampu membersihkan akal manusia, menyucikan hati dan memperbaiki kondisi. Jadi untaian kalimatnya adalah untaian kalimat terbaik serta kandungannya adalah kandunagn terbaik. Inilah maksud tasybuh’am.
c. Al-Qur’an, sebagiannay muhkam dan sebagiannya lagi mutasyabih
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman :
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab [Al Qur’an] kepada kamu. Di antara [isi]nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain [ayat-ayat] mutasyaabihaat (QS. Ali Imran/3:7)
Dalam ayat diatas, Allah ‘Azza Wa Jalla menjelaskan bahwa sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an itu muhkam dan sebagiannya lagi mutasyabihat. Muhkam dan mutasyabih yang termaktub dalam ayat diatas bukan muhkam atau mutasyabih yang sudah dijelaskan maknanya sebelum ini.
Ketika mejelaskan ayat ini, Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan, “Allah ‘Azza Wa Jalla memberitahukan bahwa dalam al-Qur’an ada ayat-ayat yang muhkam. Ayat-ayat ini merupakan ummul kitab (pokok pokok Kitab). (Muhkam) maksudnya adalah ayat-ayat yang jelas dan terang maknanya, tidak ada kesamaran sama sekali bagi semua orang dalam ayat ayat tersebut. Dan ada sebagian lagi ayat-ayat yang kurang jelas maknanya bagi mayoritas atau sebagian orang. Barangsiapa mengembalikan makna (ayat) yang belum jelas kepada (ayat) yang jelas maknanya dan menjadikan (ayat) yang belum jelas baginya, berarti dia telah mendapatkan petunjuk. Barangsiapa yang melakukan kebalikannya, berarti dia terbalik (tersesat). (2)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-sa’diy Rahimahullah mengatakan, “Para ahli ilmu (yang memahami) al-Qur’an, mereka mengembalikan makna ayat-ayat kurang jelas kepada ayat-ayat yang maknanya jelas, sehingga semuanya menjadi jelas. Dan mereka juga mengatakan,”Semua ayat-ayat itu datang dari Rabb kami.” Maksudnya semua yang datang dari Rabb tidak yang bertentangan. Makna yang belum jelas pada satu tempat, telah dijelaskan pada tempat lain sehingga (semua) terpahami dan problem dalam memahaminya telah sirna.
Diantara contohnya yaitu pemberitahuan Allah ‘Azza Wa Jalla bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, segala yang Allah ‘Azza Wa Jalla kehendaki pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki pasti tidak terjadi. Allah ‘Azza Wa Jalla (memberitahukan), Dia memberikan dan menyesatkan orang yang dikehendaki dan menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya.
Jika makna-makna ini tidak terpahami dengan baik oleh orang yang mengira bahwa ini bertentangan dengan nilai keadilan atau mengira bahwa penganugerahan hidayah dan penyesatan itu begitu saja tanpa sebab, maka ketidakjelasan ini telah dijelaskan dalam ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa semua itu ada sebabnya, dan sebab itu dilakukan oleh manusia. Seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan (QS. Al-Maidah/5:16)
Juga firman-Nya:
Maka tatkala mereka berpaling [dari kebenaran], Allah memalingkan hati mereka. (QS. As-Shaf/61:5)
Jika ini masih mutasyabih (tidak terpahami dengan baik) oleh golongan Jarbriyah yang memandang bahwa manusia itu dipaksa atau dikendalikan seperti robot, maka Allah ‘Azza Wa Jalla jelaskan dalam banyak ayat bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla tidak memakas manusia. Dan Allah ‘Azza Wa Jalla jelaskan bahwa apa yang mereka lakukan itu berdasarkan pilihan dan kemampuan mereka.
Jika ini masih mutasyabih (tidak terpahami dengan baik) oleh golongan Qadariyah yang memandang bahwa usaha manusia itu murni dari mereka tanpa ada kehendak dan takdir dari Allah ‘Azza Wa Jalla yang meliputi segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia. Mereka tidak memiliki keinginan kecuali setelah Allah ‘Azza Wa Jalla menghendakinya.
Dan ita katakan kepada Jabriyah dab Qadariyah , bahwa semua itu merupakan ayat-ayat Allah ‘Azza Wa Jalla yang haq yang wajib diimani oleh kaum Muslimin.
Kesimpulannya, ayat yang masih mujmal (global) atau belum jelas maknanya pada suatu tempat, maka ditempat lain ayat tersebut telah dijelaskan, sehingga menjadi jelas maknanya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1432H/2011M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
FOOT NOTE :

1. Diangkat dari kitab al-Qawa’idul Hisan, kaidah ke-20

HAKIKAT I'jaz

HAKEKAT I’JAZ

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sudah menjadi kelaziman dari munculnya seorang Rasul dengan seruan agama baru untuk disertai dengan mukjizat. Dengan mu’jizat itu seorang rasul baru diberdayakan oleh Allah untuk sanggup membalikkan pandangan umatnya yang sedang mengalamai fase keterkaguman dengan salah satu aspek kehidupan keduniaan, menuju jalan agama Allah yang lurus. Sejarah nabi dan rasul menunjukkan kebhinekaan corak mu’jizat yang tidak lain sebagai respon logis dari tuntutan realitas kehidupan umat.
Mukjizat yang Allah SWT berikan kepada para nabi dan rasul-Nya sebelum nabi Muhammad SAW dapat dikatakan hanya tinggal kenangan yang terukir dari mulut kemulut, dan tertulis dalam berbagai buku sejarah terutama Al-Qur’an. Akan tetapi mukjizat terbesar yang Allah berikan kepada nabi Muhammad SAW, yakni Al-Qur’an, hingga kini, nanti, besok, bahkan sepanjang perputaran bumi ini akan terus tetap eksis terjaga sebagaimana terjaganya Al-Qur’anul karim. Banyaknya kontroversi pemikiran dan perdebatan pendapat tentang arti, definisi, aspek kemukjizatan Al-Qur’an yang terus berlanjut dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat ini, nampaknya bisa menjadi bukti bahwa Al-Qur’an akan terus eksis dikaji oleh kaum muslimin, bahkan non-muslim. Lebih-lebih ketika pemikiran telah berkembang, i’jaz qur’an bukan hanya ditinjau dari beberapa penelitian tentang kebahasaan, makna, atau balaghah saja. Namun IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi)pun turut membuktikannya. Oleh karenaya i’jaz  qur’an ini sangat menarik dan penting  untuk kita kaji sebagai bentuk sumbangsih pemikiran kita sebagai umat nabi yang dikaruniai mu’jizat terbesar ini.




BAB II
HAKEKAT I’JAZ

A.    Pengertian Hakekat I’jaz
Kata i’jaz diambil dari akar kata a’jaza-yu’jizu. Al-‘ajzu yang  secara harfiyah antara lain berarti lemah,tidak mampu, tidak berdaya. Lawan kata dari al-qudroh yang berati sanggup, mampu atau kuasa. I’jaz yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu.
Al-Qaththan mendefinisikan i’jaz dengan “Memperlihatkan kebenaran Nabi SAW atas pengakuan kerasulannya dengan cara membuktikan kelemahan orang arab dan generasi sesudahnya untuk menandingi Al-Qur’an”. Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat. Tambahan ta’ marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).[1]
Istilah mu’jiz atau mu’jizat lazim diartikan dengan al-‘ajib, maksudnya adalah sesuatu yang ajaib (menakjubkan atau mengherankan) karena orang lain tidak ada yang sanggup menandingi atau menyamai sesuatu itu. Juga sering diartikan dengan amrun khoriqun lil’adah, yakni sesuatu yang menyalahi tradisi.[2]
Adapun Manna’ Al-Qaththan mendefinisikan dengan hal serupa “Amrun khariqun lil’adah maqrunun bit tahaddiy salimun ‘anil mu’arodhoh”, yakni suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak dapat ditandingi.

B.     Macam I’jaz
Dalam menjelaskan macam-macam mukjizat Al-Qur’an ini para ulama berlainan keterangan. Hal ini disebabkan karena perbedaan tinjauan masing-masing.
Dr. Abd. Rozzaq Naufal, dalam kitab Al-I’jazu Al-Adadi Lil Qur’anil Karim menerangkan bahwa i’jazil Qur’an itu ada 4 macam, sebagai berikut:
1.      Al-I’jaz balaghi
Kemukjizatan segi sastra balaghahnya, yang muncul pada masa peningkatan mutu bahasa arab.
2.      Al-Ijazut tasyri’i
Kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya yang muncul pada masa penetapan hukum-hukum syari’at Islam.
3.      Al-I’jazul ilmu
Kemukjizatan segi ilmu pengetahuan, yang muncul pada masa kebangkitan ilmu dan sains dikalangan umat Islam.
4.      Al-I’jazul adadi
Kemukjizatan segi kuantity atau matematis atau statistik, yang muncul pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi canggih sekarang.
Beliau mencontohkan:
a.       Kata iblis disebutkan dalam qur’an sampai 11 kali/ayat. Maka ayat yang menyuruh mohon perlindungan dari iblis juga disebutkan 11 kali pula.
b.      Kata sihir dengan segala bentuk tasrifnya dalam al-qur’an disebutkan sampai 60 kali/ayat, dan kata fitnah yang merupakan sebab dari sihir itu juga disebut sampai 60 kali pula.

Adapun Imam Al-Jahidh (wafat 255 H) di dalam kitab nuzdumul qur’an dan hujajun nabaawiyah serta al-bayan wa at-tabyin menegaskan bahwa kemukjizatan al-qur’an itu terfokus pada bidang lafal-lafalnya saja, yaitu kemukjizatan susunannya, dengan semboyan: innal I’jaza innama huwa fin nadhmi. Sebab memang susunan lafal-lafal al-qur’an ini berbeda dari kitab-kitab lain dan sungguh menakjubkan.
Moh. Ismail Ibrahim dalam buku yang berjudul al-qur’an wa I’jazihi al-ilmi mengatakan, orang yang mengamati Al-qur’an dengan cermat, mereka akan mengetahui bahwa kitab itu merupakan gudang berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan. Beliaupun menyimpulkan bahwa fokus kemu’jizatan Al-Qur’an adalah I’jazil ilmi.[3]

C.    Contoh I’jaz
·         Dari segi embriologi, sesuatu sperma/gamet jantan (separuh sel bercantum dengan telur/gamet betina (separuh sel) untuk menghasilkan zigot (sel lengkap) yang akan berubah menjadi embrio dan berpindah kepada uterus/rahim dan berkembang serta tumbuh menjadi janin. Inilah kegelapan pertama sebagaimana yang disebutkan al-Quran, atau trimester pertama sebagai istilah medical (bagi 3 bulan pertama). Pada kegelapan kedua atau trimester kedua, janin ini membesar lagi dan telah mempunyai wajah, telinga, mulut, hidung dan anggota kaki dan tangan. Pada kegelapan ketiga (trimester ketiga) janin masuk bulan ke-7 sampai bulan ke-9 dan dilahirkan sebagai bayi sempurna. (Abu Hasan bin H. Ali, jilid 5 hal 30).
·         Pada tahun 1948, Gerge Gamov mengatakan bahwa setelah pembentukan alam semesta melalui ledakan raksasa, sisa radiasi yang ditinggalkan oleh ledakan ini mestilah tersebar merata di segenap penjuru alam semesta. Pada tahun 1965, dua peneliti bernama Arno Penziaz dan Robert Wilson menemukan gelombang ini tanpa sengaja, yang disebut 'radiasi latar kosmis'. Demikianlah, diketahui bahwa radiasi ini adalah sisa radiasi peninggalan dari tahapan awal peristiwa Big Bang karena ia tidak terlihat memancar dari satu sumber tertentu, akan tetapi meliputi keseluruhan ruang angkasa. Pada tahun 1989, NASA mengirimkan satelit Cosmic Background Explorer. COBE ke ruang angkasa untuk melakukan penelitian dan hanya perlu 8 menit bagi COBE untuk menemukan bukti sisa ledakan raksasa yang telah terjadi di awal pembentukan alam semesta yang membuktikan teori Big Bang.[4]

D.    Manfaat I’jaz
·   Memberikan kemudahan kepada orang yang mempelajarinya sehingga mengerti seluk beluk ilmu syariah. Karena Al Quran sendiri adalah tiang agama, sumber hikmah, tanda-tanda risalah serta sebagai cahaya mata dan akal.
·   Bisa memberikan kebahagiaan
·   Memberi syafa’at pada hari kiamat kepada orang yang membaca dan mengkajinya

E.     Pendapat Para Ulama
Pada dasarnya para ulama sepakat tentang kemukjizatan Al-Qur’an dalam konteksnya yang sangat luas dan sebagai satu kesatuan yang bersifat holistik. Hanya saja mereka berlainan pendapat dalam hal pemaparan kemukjizatan Al-Qur’an secara rinci dan bagian demi bagian.
Menurut Golongan Sharfah, salah satunya adalah Abu Ishaq Ibrahim An-Nazhzham (321 H-933 M) yang oleh Musthafa Shodiq Ar-Rafii dituduh sebagai setan para teolog (syaithanul mutakallim) mengemukakan bahwa kemukjizatan Al-Qur’an bukanlah terletak pada kehebatannya. Melainkan lebih dikarenakan sharfah (proteksi) dari Allah SWT terhadap para hamba-Nya. Lebih dari itu, tambah An-Nazhzham, Allah SWT tidak hanya memprotek kemampuan manusia untuk menandingi Al-Qur’an, akan tetapi juga membelenggu kefasihan lidah mereka.
Pendapat serupa juga diutarakan oleh Al-Murtadha, seorang tokoh dari kalangan madzhab syi’ah- bahwa I’jaz Al-qur’an  terjadi karena as-sharfah dari Allah. Menurutnya, Allah sengaja mematikan  kreatifitas dan kemampuan orang arab dari kemungkinan mereka menandingi Al-qur’an. Padahal pada dasarnya mereka berkemampuan melakukan itu. Sharfah Allah kepada hambanya inilah, sesungguhnya  yang mengakibatkan (Al-qur’an) tidak mengikuti tradisi, tambah Al-Murtadha.[5]
Menurut Imam Fakhruddin, aspek kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada kefasihan, keunikan redaksi, dan kesempurnaannya dari segala bentuk cacat.
Menurut Az-Zamlakani, aspek kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada penyusunan yang spesifik.
Menurut Ibnu Athiyyah, aspek kemukjizatan Al-Quran yang benar dan yang dianut oleh mayoritas ulama diantaranya Al-Haddad terletak pada runtutannya, makna-maknanya yang dalam, dan kata-kata yang fasih.
Menurut Quraish Shihab, memandang kemukjizatan Al-Qur’an dalam 3 aspek:
·         Aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya.
·         Berita tentang hal-hal ghaib.
·         Isyarat-isyarat ilmiyah (kejadian-kajadian alam).


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita tarik satu kesimpulan bahwa kemukjizatan Al-Qur’an sesungguhnya tidaklah dapat dipungkiri adanya. Hanya saja beberapa ulama  memandang I’jaz bukan dari kehebatan yang ada di dalam Al-Qur’an melainkan lebih karena faktor luar yang sekilas seperti memojokkan Allah SWT. Padahal manusia itu diciptakan memang masih jauh dari kata sempurna. Manusia hanya sempurna diantara makhluk-makhluk ciptaan-Nya saja. Namun dibalik itu mereka masih memiliki banyak kekurangan. Hanya Allahlah yang maha sempurna, tak ada seorangpun yang dapat menandingi kehebatan-Nya.

B.     Saran
Menaggapi perbedaan ini hendaknya kita memandang memang Allah mempuyai sifat al-qahhar (maha kuasa) juga al-jabbar (maha perkasa). Sehingga wajar jika manusia lemah atau dilemahkan. Kemudian dibalik apa yang telah kita kaji tadi semoga dapat kita jadikan media pembelajaran awal yang melanjutkan kita pada pembelajaran Qur’an yang lebih mendalam.

                                                                                                
DAFTAR PUSTAKA

Manna’. 1971. Mabahits fi ‘ulum Al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta
Shihab, Quraish. 1997. Mukjizat Al-Qur’an.Bandung: Mizan
Amin,Muhammad. 1998. Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an. Bandung: Mizan
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. 2000. Surabaya: Dunia Ilmu
Aku Untuk Indonesia. 2010. ”Journal item”. [Online]. Tersedia: http://akuuntukindonesia.multiply.com/journal/item/12/12
Nurul Ulum. 2008. “Ijazul Quran Kemukjizatan Al Quran”. [Online]http://nurululum.wordpress.com/2008/05/28/ijazul-quran-kemujizatan-al-quran/
http://sukmanila.multiply.com/journal/item/20



[1]M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 23
[2]Prof. Dr. Muhammad Amin Suma,MA. SH., Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, jil 3,[t.t].,36-37
[3]Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A,Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya, 2000, hlm271-275
[4]Harun Yahya, www.harunyahya.com
[5]Manna’ Al-Qaththan, op.cit. hlm 261