PERSPEKTIF
DAN PERSEPSI TENTANG KORUPSI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah
korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia bermasyarakat, yakni pada tahap
tatkala organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul. Manusia direpotkan
oleh gejala korupsi paling tidak selama beberapa ribu tahun. Jenis korupsi
berbeda-beda pada waktu dan tempat yang berlainan. Seperti gejala
kemasyarakatan lainnya, korupsi banyak ditentukan oleh berbagai faktor.
Korupsi
kebanyakan menguntungkan beberapa orang yang duduk dalam kekuasaan, dan
membuatnya menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Namun, banyak pemimpin dan
pejabat pemerintah di negara-negara berkembang ingin lebih baik dalam
mengendalikan penipuan, penyuapan, pemerasan, penggelapan, sogok dan bentuk-bentuk
tingkah laku lain yang tidak halal. Korupsi itu adalah penyakit pemerintah dan
masyarakat yang sangat merugikan, maka dari itu kita harus mencari obat serta
cara memberantasnya. Apabila obat itu sekarang ditemukan, maka usaha kita untuk
menemukannya harus diteruskan dan selalu mendapat dukungan pemerintah dan
masyarakat sampai akhirnya kita berhasil untuk membasmi korupsi tersebut.
Tanpa
membahas masalah fungsi korupsi kita perlu mengelompokkan pengaruh korupsi ke
dalam kategori yang berbeda, agar kita mempunyai pemahaman yang lebih jelas
mengenai dampaknya terhadap masyarakat. Pengelompokan beberapa akibat yang
berbeda di dalam pengaruh-pengaruh korupsi
setiap pengelompokan secara kasar dan memerlukan parbaikan lebih lanjut.
Kelompok ini juga membantu menambah kesadaran kita terhadap korupsi yang
terjadi akhir-akhir ini.
Bila
semua korupsi yang percobaannya dalam bentuk barang, jasa dan transaksi
dipisahkan dari suatu masalah dalam korupsi maka yang tertinggal adalah ciri-cirinya
seperti, penipuan, pencurian, dan penghianatan. Korupsi ini meluas dalam kehidupan
masyarakat yang terlanda korupsi. Hal ini juga menjadi kekuatan mendorong
ideologi korupsi, suatu pokok perbincangan dalam ideologi korupsi. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk melengkapi bahan-bahan mengenai ideologi korupsi
dengan menampilkannya dari sudut penilaian positif.
BAB II
KEJADIAN DAN EVALUASI PRAKTEK
KORUPSI
A.
Definisi Korupsi
Definisi Transparance Internasional untuk korupsi adalah penyalahgunaan wewenang
untuk kepentingan pribadi (Simanjutak, Tanpa Tahun:1). Korupsi
berarti menggunakan jabatan untuk
keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan. Seseorang diberi
wewenang atas kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga. Lembaga itu bisa lembaga
swasta, lembaga pemerintah.
Menurut John
Waterbury (dalam
Lubis dan James, 1993:19). Korupsi dapat
didefinisikan dalam arti hukum dan berdasarkan norma. Dan pada beberapa
masyarakat, kedua definisi itu dapat berbentuk serupa (coincident).
Dalam arti hukum,
korupsi adalah tingkah laku yang mengurus kepentingan diri sendiri dangan
merugikan orang lain oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar
batas-batas hukum
atas tingkah laku tersebut. Menurut norma, pejabat pemerintah dapat dianggap
korupsi, apakah hukum
dilanggar atau tidak di dalam proses. Orang yang korupsi menurut hukum dapat menimbulkan tindakan tercela yang tidak
menurut norma, orang yang dinilai korupsi oleh standar normative dapat bersih
menurut hukum.
Apa yang umum pada kedua definisi itu ialah pengertian penyalahgunaan kekuasaan
dan pengaruh pemerintah untuk tujuan pribadi
Tindak
korupsi berbeda luas sebaran dan jenisnya. Korupsi ada yang dilakukan pejabat secara sendiri-sendiri atau dalam
kelompok kecil menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk meminta suap. Namun,
korupsi bisa mewabah menjadi lebih mudah.
Definisi
menurut Klitgaard, Robert dkk, (2005:3) yang digunakan, bila korupsi telah
mencapai tingkat hypercorruption akan membawa dampak yang mematikan. Sayangnya,
korupsi jenis inilah yang biasanya kita jumpai dalam tubuh pemerintahan daerah
berbagai negara di dunia. Korupsi sistematis menimbulkan kerugian ekonomi
karena mengacaukan insentif; kerugian politik, karena meremehkan
lembaga-lembaga pemerintahan. Kerugian sosial, karena kekayaan dan kekuasaan
jatuh ketangan orang yang tidak berhak. Bila korupsi berkembang demikian rupa
sehingga hak milik tidak lagi dihormati, aturan hukum dianggap remeh, dan
insentif untuk infestasi menjadi kacau, maka akibatnya pembangunan ekonomi dan
politik akan lumpuh. Korupsi dijumpai disemua negara di dunia. Namun, dampak
korupsi di negara-negara miskin cenderung menyebabkan hak milik tidak di
hormati, aturan hukum dianggap enteng, dan intensif untuk investasi menjadi kacau.
Korupsi berarti memungut uang bagi layanan
yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai
tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai
atau sengaja. Korupsi bisa mencakup kegiatan sah dan tidak sah. Korupsi dapat
terjadi di dalam tubuh organisasi misalnya, pengelapan uang atau diluar
organisasi misalnya, pemerasan. Korupsi kadang-kadang dapat membawa dampak
positif di bidang sosial, namun pada umumnya korupsi menimbulkan ketidakadilan.
Menurut
Lubis dan James (1993:1). Sebagaian besar tindakan yang dianggap korupsi oleh
mereka yang melaksanakan norma dalam sistem politik atau oleh pengecam di luar
sistem itu pada dasarnya adalah variasi transaksi penukaran. Dilihat dari
teknik yang dipakai, di pihak penukar, transaksi tersebut menimbulkan beraneka
kewajiban dengan sifatnya yang khusus. Sogok adalah teknik korupsi yang paling
sering dikutip, karena perbuatan itu menimbulkan kewajiban khusus, makin banyak
ia menyerupai interaksi ekonomi yang berpijak pada kontrak resmi yang
menentukan jumlah sebenarnya yang harus dipertukarkan. Pejabat yang disuap
secara khusus setuju untuk melakukan atau membatalkan tindakan yang ditunjukkan
sebagai imbalan atas kopensasi yang ditentukan.
Definisi
korupsi itu sendiri telah menimbulkan perdebatan yang sangat besar dan
pemahaman yang berbeda-beda. Pada dasarnya, korupsi ialah penyalahgunaan peran
dan sumber daya pemerintah untuk keuntungan pribadi. Yang dimulai oleh
orang-orang yang memegang jabatan dalam pemerintah.
Menurut
UU No 31, 1999 Junto UU No.20, 2001, (Simanjutak, Tanpa Tahun: 1) ada 30 jenis
tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana
korupsi ini dapat dikelompokkan menjadi 7 kategori yaitu : Kerugian keuangan
negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbutan curang, benturan
kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi. Dalam survei ini TI-Indonesia
mendefinisikan korupsi sebagai penggunaan wewenang publik untuk kepentingan pribadi.
Sementara konsep operasional dari korupsi dalam penelitian ini adalah Suap
suatu tindakan membayar uang secara ilegal untuk mendapatkan keuntungan atau
mempercepat proses birokrasi. Penggelapan dalam jabatan adalah penggunaan
fasilitas milik pemerintah maupun uang negara untuk kepentingan pribadi.
Pemerasan suatu tindakan meminta uang kepada klien oleh pejabat publik dalam
menjalankan tugas pelayanan dan benturan kepentingan dalam proses pengadaan
barang dan jasa keterlibatan langsung maupun tidak langsung pejabat publik
dalam proses pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan mendapatkan keuntungan
bagi dirinya sendiri atau kelompok.
B.
Pengaruh-pengaruh Korupsi
Diantara
akibat korupsi yang dicatat oleh mereka yang menaruh perhatian terhadap masalah
itu yang paling jelas adalah berbagai bentuk ketidakadilan yang mempengaruhi
pribadi Sebuah contoh adalah banyaknya kematian sebagai akibat kekurangan
makanan karena bantuan untuk mereka dicuri oleh orang-orang yang korupsi. Hal
yang sama ialah pemalsuan obat-obatan penting dalam berbagai situasi darurat.
Banyak sekali contoh ketidakadilan dan orang tidak perduli dan enggan bersusah
payah menagganinya.
Korupsi
tidak hanya mempengaruhi manusia dalam kehidupan ekonomi dan politiknya belaka
melainkan juga dalam pertumbuhan rokhaniah dan filsafatnya. Di segi filsafat,
korupsi menumbuhkan nihilisme dan sinisisme. Sebaliknya ia pun ditumbuhkan oleh
dua hal tersebut. Korupsi melahirkan berbagai masalah rumit seperti larinya
tenaga-tanaga ahli ke luar negeri. Yang dimaksud dengan masalah rumit ialah
masalah yang unsur utamanya korupsi yang berpadu dengan unsur-unsur lain hingga
membentuk keseluruhan yang rumit. Ketidakefisienan administratif dan
parasitisme adalah contoh masalah rumit yang lain (Alatas, 1987:177).
Ketidakpedulian
disertai dengan meremehkan sikap masyarakat terhadap kekuasaan pemerintah dan
segenap kehidupan pada umunnya. Sikap masa bodoh mempengaruhi berbagai kehidupan
masyarakat melalui aneka macam akibat yang timbul. Pertama sikap ini mempengaruhi
hakikat selanjutnya mungkin sekali bentuk lembaga. Maka sebuah kampus yang
sudah kejangkitan wabah sikap masa bodoh mungkin masih tetap manjalankan
aktivitas eksternal tidak yang bersifat lahiriah. Perkuliahan diselenggarakan,
sidang tahunan diadakan, jubah kesarjanaan dikenakan di dalam upacara-upacara,
laporan ditulis, rapat-rapat dilangsungkan, dan konferensi pers
diselenggarakan.
Dalam
hal itu, semangat lembaga menjadi lumpuh. Yang pertama di antara matarantai
sebab-akibat berupa hancurnya patokan-patokan akadimis. Kenaikan jenjang di
dalam karier akademis tidak benar-benar
didasarkan pada karya penelitian dan penerbitan seseorang, melainkan berkat
koneksi, sikap menjilat, kebutuhan administratif atau sekedar kemampuan manaiki
tangga karier. Para dosen sama sekali tidak berminat pada matakuliah yang
dipegangnya, tidak ada perhatian intelektual terhadap masalah pendidikan, tidak
mempunyai kecenderungan banyak pembaca agar dapat memperoleh pengetahuan
mutakhir dalam bidangnya, tidak ada dorongan untuk mendiskusikan masalah yang
diminatinya, dan akhirnya tidak mempunyai harga diri. Pekerjaan rutin ia
lakukan tanpa semangat dalam dari jiwanya
(Alatas, 1987:182).
Pengaruh
korupsi yang merugikan mudah meluas dan beranekaragam. Begitu mudahnya korupsi
berpengaruh pada suatu organisasi, dengan sikap masa bodoh yang dilindungi
dengan sikap pilih kasih dan pengaruh-pengaruh lain, menciptakan
masalah-masalah yang tak terhitung banyaknya
dan akibat-akibat yang berat bagi rakyat. Korupsi yang dilakukan oleh
pejabat dapat dikelompokkan ke dalam dua kecenderungan umum, yang berpengaruh
pada masyarakat dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri. Korupsi tidak
hanya terbatas pada transaksi yang korupsi yang dilakukan dengan sengaja oleh
dua pihak atau lebih, melainkan juga meliputi akibat-akibat yang timbul dari
perilaku orang yang korupsi.
Korupsi
yang menyuburkan jenis kejahatan lain di dalam masyarakat. Melalui sindikat
kejahatan perseorangan dapat membengkokkan hukum, menyusupi organisasi negara,
dan memperoleh kehomatan. Secara luas dikenal di India, bahwa para penyelundup
yang terkenal menyusup ke dalam tubuh partai dan memegang jabatan. Di Amerika
Serikat, misalnya, melalui pemberian suap, polisi yang korupsi memberi
perlindungan kepada organisasi-organisasi penjahat. Sebagai akibat pengaruh
metastatikannya, korupsi menyebar dari satu bidang ke bidang lain. Hal itu
mungkin semula hanya berupa pemberian dangan tujuan yang tersembunyi (Alatas, 1987:186).
Penerimaan
uang suap kecil-kecilan yang merupakan pelanggaran yanbg kurang serius ini
dapat berkembang ke bidang-bidang yang lebih serius, yakni kejahatan. Pemerasan
juga dilakukan terhadap mereka yang dapat diperas. Hal ini seterusnya akan
menjurus ke arah konsolidasi organisasi penjahat. Kejahatan yang keorganisasi
mempunyai kaitan dengan korupsi yang terorganisasi. Watak dari keduanya
tercakup dalam satu definisi yang sama. Definisi dari Cressey (dalam Alatas,
1987:187) tentang kejahatan yang terorganisasi. Definisinya adalah sebagai
berikut;
Kiranya berguna untuk menjelaskan, pada
tingkat permulaan bahwa suatu kejahatan yang terorganisasi ialah semua
kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang berkedudukan di dalam suatu bidang
kerja yang mapan yang dirancang untuk melakukan kajahatan. Pernyataan awal ini
menujukkan pada kita bahwa semua kegiatan penjahat yang lain melalui
aturan-aturan, sebagaimana kegiatan seorang kasir toko pengecer dikoordinasikan dengan kegiatan pegawai
gudang, pramuniaga, dan pemegang buku. Definisi tersebut juga menyatakan bahwa
setiap pejahat yang terorganisasi menempati suatu kedudukan dalam serangkaian
kedudukan yang ada secara terlepas dari orang-orangnya. Masing-masing mempunyai
kewajiban, tugas, dan hak-hak yang disebut secara khusus di dalam perincian
kerja dan perangkat peraturan lain di dalam kepegawaian pemerintah.
Pengaruh
kolektif dan komolatif dari korupsi adalah melemahkan semangat perangkat
birokrasi dan mereka yang menjadi korban. Pengaruh pertama yang melemahkan itu
ialah pelayanan palsu. Kerja yang
dilakukan oleh orang yang korupsi tidak lulus. Ia tidak menaruh minat pada
kerja itu. Dengan demikian seorang kepala polisi yang terlibat di dalam
penyelundupan obat bius dan korupsi yang merajalela tidak akan mencurahkan
kemampuannya yang terbaik untuk pekerjaan itu, tidak akan mencurahkan waktu
sepenuhnya untuk memikirkan pekerjaannya. Kegiatannya yang tampak hanya
dirancang sekedar untuk mengesahkan kehadirannya pada kedudukan yang ditempati yaitu.
Ia tidak mempunyai minat yang sesungguhnya di dalam pekerjaan. Maka kerjanya
hannyalah sesuatu yang semu sebagai ganti sesuatu yang murni yang tidak ia
lakukan (Alatas,
1987:188).
Korupsi
umumnya meruigikan pembangunan ekonomi, politik, dan organisasi. Namun semua
bentuk korupsi tidak sama rata, beberapa lebih merugikan dari pada yang lain.
Perbedaan itu bukan sekedar dalam luasnya, yang tentu saja penting, tetapi juga
dalam hakekatnya serta keadaan di mana korupsi itu terjadi. Korupsi itu
terkadang merupakan sarana untuk tujuan-tujuan politik, tetapi korupsi dapat
juga menuntut biaya politik yang besar. Korupsi juga dapat menjadi sebuah alat
untuk membeli kesetiaan politik, yang ikut serta dalam sebuah kelompok.
Sebaliknya, apabila dampaknya sudah meluas, korupsi dapat mengakibatkan
keterangan masyarakat serta ketidakstabilan politik.
Semakin
banyak bukti menumpuk tentang korupsi di
negara-negara berkembang, dan lebih jelas bahwa pengaruh buruk korupsi jauh
lebih besar dari pada manfaat sosialnya. Menurut ilmuan politik Joseph Nye
(Klitgaard, 1998:48), secara sistematis memperkirakan kemungkinan manfaat dan
biaya berbagai kategori korupsi. Kesimpulannya ialah korupsi itu lazimnya
merugikan. Kita dapat memperluas pernyataan umum tentang korupsi dan pembangunan
politik sehingga berbunyi: Mungkinkah bahwa biaya korupsi di negara-negara yang
kurang maju akan melampaui manfaatnya kecuali apabila korupsi tingkat puncak
yang menyangkut bujukan-bujukan canggih dan penyimpangan kecil dan di mana
korupsi menjadi satu-satunya solusi bagi hal-hal yang menghambat pembangunan.
C.
Kejadian Tingkah Laku korupsi
Korupsi adalah masalah dunia
dan korupsi banyak dijumpai di dalam pemerintah. Pemarintah daerah yang dituduh
tidak mampu menjalankan kewajibannya, tetapi juga dituduh
menyelewengkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan tuduhan-tuduhan yang
dilontarkan sangat beraneka ragam.
Sulit untuk mengukur apakah
korupsi meningkat atau menurun. Informasi mengenai korupsi sedikit sekali dan
dapat memberikan gambaran yang salah. Seperti kata John T. Noona (Klitgaard, dkk, 2005:11), dalam bukunya mengenai sejarah korupsi, mungkin saja ter- jadi bahwa sebuah negara
telah banyak membawa perkara korupsi kemeja hijau, dibandingkan dengan negara
lain, tetapi dalam kenyataan tindak korupsi di negara ini sebenarnya tidak
banyak, dan ini semata-mata karena Negara itu punya kemauan yang tinggi dan kemampuan yang tinggi pula untuk membasmi korupsi.
Menurut Lubis dan James (1993:11), tingkah laku korupsi digolongkan secara
gampangan dalam tiga kategori, yaitu, Korupsi kecil, rutin dan menjengkelkan.
1.
Korupsi
Kecil
Korupsi
kecil mengacu pada pembelokan peraturan resmi demi keuntungan teman,
sebagaimana diwujudkan dalam laporan yang agak tidak jujur mengenaisoal-soal
rinci, pengabaian tanggal keputusan (cut-off
dates), “penetapan” karcis parkir, dan lain-lain. Hal itu banyak sekali
terjadi dalam keempat lingkungan, meskipun bukan praktek menurut standar dalam
kota yang mempunyai dasar warga kebudayaan, dengan kemungkinan tidak akan
disukai penganut perisme, akan tetapi akan dimanfaatkan oleh pengusaha yang
praktis. Dalam masyarakat majikan pratonase hal itu banyak sekali dilakukan,
bahkan di kalangan semua perima penghargaan ”kolom-kolom surat kabar” (Lubis
dan James, 1993:12).
2.
Korupsi
Rutin
Beberapa dari praktek yang tercantum dalam
katagori korupsi rutin, sampai taraf tertentu memang terjadi dalam kota-kota yang berdasarkan
warga kebudayaan, akan tetapi biasanya hanya dalam bentuknya yang sudah
disaring melalui pengolektifan penerima. Jadi, penyumbang kampanye untuk dana
partai politik dapat memenangkan suatu taraf preferensi sebagai penawar kontrak
atau calon pejabat yang diangkat. Sebaliknya, dalam kota dengan hubungan
majikan patronase (boss-patronage) sebagaian
besar dari praktek ini adalah produser pelaksana yang baku atau yang banyak
dilakukan, dengan sebagaian besar dari keuntungan materiil bertumpuk pada perorangan
(Lubis dan James, 1993:13).
3.
Korusi
yang Menjengkelkan
Dalam masyarakat yang berdasar atas warga
kebudayaan, peristiwa korupsi yang menjengkelkan jarang sekali terjadi, kalau
memang ada. Diantara masyarakat-masyarakat yang berdasarkan hubungan majikan
petronase, justru frekuensi kejadian korupsi yang menjengkelkan inilah yang
membedakan pembaharuan dari masa dikotori oleh aib, atau kota korupsi dari kota
mesin. Jadi, sebagaian besar dari keanekaragaman tingkah laku kurupsi hanya
terjadi kadang-kadang dalam kota mesin yang diperintah lebih baik di Amerika
abad ke-20, akan tetapi variasi itu merupakan praktek standar dalam kota yang
oleh John A. Gardiner disebut Wincanton (Lubis dan James, 1993:14).
Ilmuan
politik, Samuel P. Huntington (Klitgaard, 1998:88) dalam buku klasiknya tentang
pembangunan politik mengutarakan beberapa pendapat tentang kondisi-kondisi yang
menguntungkan korupsi dalam pemerintahan. Korupsi cenderung meningkat dalam
suatu periode pertumbuhan serta modernisasi yang cepat, karena perubahan
nilai-nilai, sumber-sumber baru kekayaan, kekuasaan, dan perluasan
pemerintahan. Di negara-negara dengan lebih banyak stratifikasi sosial, lebih
banyak kecenderungan feodal, korupsi cenderung berkurang. Sebab keadaan ini
memberikan suatu sistem norma dan sanksi-sanksi yang lebih luas, mengurangi
baik peluang maupun daya tarik perilaku korupsi. Di Amerika Latin,
negara-negara mulatto lebih banyak mengalami korupsi daripada negara-negara
Indian atau Mestizo, Afrika hitam juga tingkat korupsinya tinggi. Penyebabnya,
tutur Huntington, bukan karena ras itu sendiri melainkan gejala yang terkait di
negeri-negeri ini yaitu, tiadanya pembagian kelas pada umumnya. Rasio akses
politik terhadap akses ekonomi disuatu negara mempengaruhi sifat korupsi
tersebut. Apabila akses politik lebih berat daripada akses ekonomi, maka orang
akan memasuki arena politik demi memperoleh uang dan ini dapat mengurus pada
semakin luasnya korupsi politik dan korupsi ekonomi. Apabila banyak ditemukan
perusahaan-perusahaan asing disuatu negara, korupsi cenderung meningkat. Semakin
partai-partai politik itu kurang berkembang mekar, semakin meluas korupsinya,
lantaran lemahnya kontrol.
Pemerasan
adalah bentuk korupsi yang sangat menjengkelkan, cenderung membuat marah warga
yang menjadi korban. Semakin korupsi itu merajalela ke masyarakat luas secara
langsung dan negatif, semakin besar pula kemungkinan tumbuhnya rasa tidak puas masyarakat.
D. Ideolegi Korupsi
Dalam hal korupsi, penyumbang utama dalam menciptakan ideologi
korupsi yang terselubung itu adalah sejumlah kecil wartawan dan beberapa guru
besar perguruan tinggi. Mereka mungkin tidak sadar terhadap apa yang mereka
lakukan, yaitu membantu dan mendorong praktek korupsi yang menawarkan
bahan-bahan untuk ideologi korupsi yang diperlukan oleh orang yang korupsi.
Tulisan mereka mempunyai pengaruh yang mengecilkan arti pemerasan,
ketidakadilan dan kekejaman yang dilakukan terhadap bagian terbesar umat
manusia.
Pada intinya korupsi adalah perwujudan
memperoleh sesuatu dengan pencurian dan penipuan. Dalam bentuknya yang bersifat
memaksa ia merampas
dengan disertai kekerasan.
Ada keraguan, apakah
kita dapat berbicara tentang ideologi korupsi, karena biasanya ideologi secara
terbuka menunjang kepentingan kelas yang memerintah dan menjadi sarana untuk
mempertahankan kekuasaan. Mereka yang terlibat di bidang kejahatan tidak
bersikap terbuka mengenai diri dan kepentingan mereka. Kiranya tidak mungkin
mereka secara terbuka menyatakan ideologi kejahatan. Oleh karena itu, dalam hal
ini pun kebohongan digunakan. Mereka membiarkan orang lain yang mengatakan,
karena untuk alasan tertentu mereka dianggap memadai sebagai juru bicara
kepentingan kejahatan (Alatas, 1987:225).
Kita tidak akan membahas
berbagai gagasan yang dilontarkan berkenaan dengan manfaat korupsi, tetapi
sekedar membicarakan jenis genetiknya. Membahas semua gagasan tersebut
memerlukan penulisan buku tersendiri dan keuletan khusus untuk membongkar mana
yang merupakan masalah serius dan mana yang sepele. Kita akan memusatkan
perhatian pada dua buah karya yang dapat dianggap sebagai dasar pandangan
terhadap korupsi yang mengandung nilai ganda itu. Yang pertama adalah buku yang
ditulis dengan bantuan Certer for Internasional Affairs, Universitas
Harvard, oleh Samuel P. Huntington. Buku ini sangat bermanfaat untuk dibahas
karena cacat-cacatnya multidimensional. Cacat tersebut tidak hanya dalam hal
generalisasi, ketepatan sejarah, penafsiran dan penalarannya, melainkan juga
dalam hal etika. Juga terdapat kekurangan pada pembatasan pilihan
kalimat-kalimatnya (phrase). Kita
akan menanggapinya juga dengan mengabaikan pembatasan kita akan pilihan kalimat
untuk menggambarkan buku yang berisi kekacaubalauan pikiran yang canggih itu (Alatas,
1987:226). Contoh menurut Samuel P. Huntington:
Persentuhan barat pertama kalinya dengan medernisme
cenderung menumbuhkan ukuran-ukuran puritan yang tidak masuk akal bahkan
seperti yang berlaku di kalangan kaum puritan sendiri. Semakin tingginya
nilai-nilai ini menjurus ke arah penolakan terhadap tawar-menawar dan kompromi
yang sangat penting dalam politik dan mempromosikan penyamaan antara politik
dengan korupsi. Bagi seorang fanatikus modernis, janji seorang politikus untuk
membangun saluran pengairan bagi para petani di sebuah desa jika ia terpilih
akan tampak sama korupsinya dengan tawaran untuk membayar setiap suara penduduk
desa sebelum berlangsung pemilihan
(Alatas, 1987:227).
Kita tertarik pada pendapatnya
mengenai beberapa jenis dan banyaknya korupsi yang bermanfaat bagi pembangunan,
walaupun memang menyatakan bahwa korupsi cenderung melemahkan birokrasi
pemerintahan. Namun, tidak semua pernyataannya kabur walaupun keseluruhan
uraiannya tidak terpadu dan berkepanjangan. Pada hematnya, korupsi yang
memperkuat partai politik menunjang pembangunan politik. Dengan demikian,
hal-hal yang merupakan penyakit dunia ketiga, nepotisme politik, korupsi dan
pemerasan yang dilakukan oleh partai dan pemimpin politik, korupsi dan
pemerasan yang dilakukan oleh partai dan pemimpin politik, dianjurkan oleh
Huntington. Setelah mengutip pendapat James Harrington dan salah penafsirkannya (dalam Alatas, 1987:233), bahwa korupsi dalam
suatu pemerintahan disebabkan oleh korupsi yang lain, dari suatu karya mengenai
teori politik, ia mengatakan :
Demikian pula, korupsi yang dilakukan oleh suatu
badan pemerintahan dapat membantu timbulnya pada badan-badan yang lain.
Dikebanyakan negara yang sedang mengalami proses modernisasi, birokrasi
berkembang terlalu maju dibandingkan dengan lembaga-lembaga yang
bertanggungjawab bagi lahirnya berbagai kepentingan dan yang menangani berbagai
masukan bagi sistem politik itu. Sejauh birokrasi pemerintahan korupsi demi
kepentingan partai-partai politik, perkembangan politik mungkin akan tertolong
dan bukannya terhalang. Patronase terhadap partai hanyalah bentuk korupsi
lunak, kalau memang pantas disebut demikian.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi adalah penggunaan jabatan
untuk tujuan di luar kepentingan pribadi dan terdiri atas suap, pemalsuan,
pemerasan, uang pelicin, penggelapan, dan sebagainya. Kita cenderung melihat
korupsi sebagai dosa pemerintah, karena itu kita harus bersama-sama mencari
jalan keluar. Semakin luas sebaran korupsi tentu kita harus lihat. Pada
umumnya, bagian terbesar sistemyang mampu menangkal korupsi, sedangkan sistem
yang sudah rusak parah dan mungkin saja dapat sehat kembali karena ada korupsi.
Tetapi bila korupsi sudah menyusup ke mana-mana dampaknya bisa melumpuh. Jadi,
meski korupsi dijumpai disetiap pemerintah daerah dan disetiap negara, namun
jenis dan penyebarannya berbeda-beda. Korupsi yang paling berbahaya adalah
korupsi sistematis, korupsi yang merusak aturan main. Korupsi sistematis adalah
korupsi yang menyebabkan sebagian besar negara yang berkembang tetap tidak
berkembang.
Program pemerintah untuk
menanggulangi atau melenyapkan korupsi terrgantung pada keadaaan dan kemauan
pada kelompok pemimpin. Penyusunan program tergantung pada kesadaran mereka
yang terlibat korupsi. Begitu pula dengan suatu pemerintah yang menetapkan
untuk memberantas korupsi dan mempunyai kesempatan untuk mengubahnya secara
bertahap.
Pada akhirnya saya akan menutup makalah
ini dengan kata-kata Sari Mehmed Pasha (Alatas, 1993:315), bendahara kerajaan
Turki dan penulis sebuah buku mengenai Krida negara (statecraft), yang dihukum berat pada tahun 1717 M oleh pemerintahan
yang mengabdi selama lima puluh tahun. ia mengatakan:
Penyuapan adalah biang keladi dan akal segala
pelanggaran hukun dan kesewenang-wenangan, sumber dan landasan segala macam
gangguan dan benih-benih pemberontakan, kejahatan dan bencana yang paling
besar. Tidak ada yang membawa bencana lebih besar bagi rakyat negara Islam atau
yang lebih merusak sendi-sendi agama dan pemerintahan daripada korupsi yang
tidak ada habis-habisnya. Tidak ada penyebab ketidakadilan dan kekejaman yang
lebih besar daripada korupsi, karena penyuapan menghancurkan baik iman maupun
negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Alatas, Syed
Hussain. 1987. “Korupsi”. Terjemahan
dari Corruption its nature, causes and
functions. Nirwono. Jakarta: LP3ES.
Lubis, Mochtar
dan James C. Scott. 1993. “Korupsi
Politik”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Klitgaard,
Robert, dkk. 2005. “Penuntun
Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah”. Terjemahan dari Corrupt Cities. A Proctica! Guide to Cure
and Prevention. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Klitgaard, Robert. 1998. “Membasmi Korupsi”. Terjemahan dari Controlling Corruption. Hermoyo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Simanjutak,
Frenky. Tanpa Tahun. “Indeks Persepsi
Korupsi Indonesia 2008 dan Suap”. Indonesia : Transparency Internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar