Senin, 02 Juli 2012

PERSPEKTIF DAN PERSEPSI TENTANG KORUPSI


PERSPEKTIF DAN PERSEPSI TENTANG KORUPSI
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia bermasyarakat, yakni pada tahap tatkala organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul. Manusia direpotkan oleh gejala korupsi paling tidak selama beberapa ribu tahun. Jenis korupsi berbeda-beda pada waktu dan tempat yang berlainan. Seperti gejala kemasyarakatan lainnya, korupsi banyak ditentukan oleh berbagai faktor.
Korupsi kebanyakan menguntungkan beberapa orang yang duduk dalam kekuasaan, dan membuatnya menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Namun, banyak pemimpin dan pejabat pemerintah di negara-negara berkembang ingin lebih baik dalam mengendalikan penipuan, penyuapan, pemerasan, penggelapan, sogok dan bentuk-bentuk tingkah laku lain yang tidak halal. Korupsi itu adalah penyakit pemerintah dan masyarakat yang sangat merugikan, maka dari itu kita harus mencari obat serta cara memberantasnya. Apabila obat itu sekarang ditemukan, maka usaha kita untuk menemukannya harus diteruskan dan selalu mendapat dukungan pemerintah dan masyarakat sampai akhirnya kita berhasil untuk membasmi korupsi tersebut.
Tanpa membahas masalah fungsi korupsi kita perlu mengelompokkan pengaruh korupsi ke dalam kategori yang berbeda, agar kita mempunyai pemahaman yang lebih jelas mengenai dampaknya terhadap masyarakat. Pengelompokan beberapa akibat yang berbeda  di dalam pengaruh-pengaruh korupsi setiap pengelompokan secara kasar dan memerlukan parbaikan lebih lanjut. Kelompok ini juga membantu menambah kesadaran kita terhadap korupsi yang terjadi akhir-akhir ini.
Bila semua korupsi yang percobaannya dalam bentuk barang, jasa dan transaksi dipisahkan dari suatu masalah dalam korupsi maka yang tertinggal adalah ciri-cirinya seperti, penipuan, pencurian, dan penghianatan. Korupsi ini meluas dalam kehidupan masyarakat yang terlanda korupsi. Hal ini juga menjadi kekuatan mendorong ideologi korupsi, suatu pokok perbincangan dalam ideologi korupsi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk melengkapi bahan-bahan mengenai ideologi korupsi dengan menampilkannya dari sudut penilaian positif.
BAB II
KEJADIAN DAN EVALUASI PRAKTEK KORUPSI

A.       Definisi Korupsi
            Definisi Transparance Internasional untuk korupsi adalah penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi (Simanjutak, Tanpa Tahun:1). Korupsi berarti menggunakan  jabatan untuk keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan. Seseorang diberi wewenang atas kekuasaan untuk bertindak atas nama lembaga. Lembaga itu bisa lembaga swasta, lembaga pemerintah.
Menurut John Waterbury (dalam Lubis dan James, 1993:19).  Korupsi dapat didefinisikan dalam arti hukum dan berdasarkan norma. Dan pada beberapa masyarakat, kedua definisi itu dapat berbentuk serupa (coincident). Dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang mengurus kepentingan diri sendiri dangan merugikan orang lain oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut. Menurut norma, pejabat pemerintah dapat dianggap korupsi, apakah hukum dilanggar atau tidak di dalam proses. Orang yang korupsi menurut hukum dapat menimbulkan tindakan tercela yang tidak menurut norma, orang yang dinilai korupsi oleh standar normative dapat bersih menurut hukum. Apa yang umum pada kedua definisi itu ialah pengertian penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh pemerintah untuk tujuan pribadi  
Tindak korupsi berbeda luas sebaran dan jenisnya. Korupsi ada yang dilakukan  pejabat secara sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk meminta suap. Namun, korupsi bisa mewabah menjadi lebih mudah.
Definisi menurut Klitgaard, Robert dkk, (2005:3) yang digunakan, bila korupsi telah mencapai tingkat hypercorruption  akan membawa dampak yang mematikan. Sayangnya, korupsi jenis inilah yang biasanya kita jumpai dalam tubuh pemerintahan daerah berbagai negara di dunia. Korupsi sistematis menimbulkan kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif; kerugian politik, karena meremehkan lembaga-lembaga pemerintahan. Kerugian sosial, karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ketangan orang yang tidak berhak. Bila korupsi berkembang demikian rupa sehingga hak milik tidak lagi dihormati, aturan hukum dianggap remeh, dan insentif untuk infestasi menjadi kacau, maka akibatnya pembangunan ekonomi dan politik akan lumpuh. Korupsi dijumpai disemua negara di dunia. Namun, dampak korupsi di negara-negara miskin cenderung menyebabkan hak milik tidak di hormati, aturan hukum dianggap enteng, dan intensif  untuk investasi menjadi kacau.
 Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja. Korupsi bisa mencakup kegiatan sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi di dalam tubuh organisasi misalnya, pengelapan uang atau diluar organisasi misalnya, pemerasan. Korupsi kadang-kadang dapat membawa dampak positif di bidang sosial, namun pada umumnya korupsi menimbulkan ketidakadilan.
Menurut Lubis dan James (1993:1). Sebagaian besar tindakan yang dianggap korupsi oleh mereka yang melaksanakan norma dalam sistem politik atau oleh pengecam di luar sistem itu pada dasarnya adalah variasi transaksi penukaran. Dilihat dari teknik yang dipakai, di pihak penukar, transaksi tersebut menimbulkan beraneka kewajiban dengan sifatnya yang khusus. Sogok adalah teknik korupsi yang paling sering dikutip, karena perbuatan itu menimbulkan kewajiban khusus, makin banyak ia menyerupai interaksi ekonomi yang berpijak pada kontrak resmi yang menentukan jumlah sebenarnya yang harus dipertukarkan. Pejabat yang disuap secara khusus setuju untuk melakukan atau membatalkan tindakan yang ditunjukkan sebagai imbalan atas kopensasi yang ditentukan.
Definisi korupsi itu sendiri telah menimbulkan perdebatan yang sangat besar dan pemahaman yang berbeda-beda. Pada dasarnya, korupsi ialah penyalahgunaan peran dan sumber daya pemerintah untuk keuntungan pribadi. Yang dimulai oleh orang-orang yang memegang jabatan dalam pemerintah.
Menurut UU No 31, 1999 Junto UU No.20, 2001, (Simanjutak, Tanpa Tahun: 1) ada 30 jenis tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi ini dapat dikelompokkan menjadi 7 kategori yaitu : Kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbutan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi. Dalam survei ini TI-Indonesia mendefinisikan korupsi sebagai penggunaan wewenang publik untuk kepentingan pribadi. Sementara konsep operasional dari korupsi dalam penelitian ini adalah Suap suatu tindakan membayar uang secara ilegal untuk mendapatkan keuntungan atau mempercepat proses birokrasi. Penggelapan dalam jabatan adalah penggunaan fasilitas milik pemerintah maupun uang negara untuk kepentingan pribadi. Pemerasan suatu tindakan meminta uang kepada klien oleh pejabat publik dalam menjalankan tugas pelayanan dan benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang dan jasa keterlibatan langsung maupun tidak langsung pejabat publik dalam proses pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau kelompok.

B.       Pengaruh-pengaruh Korupsi
Diantara akibat korupsi yang dicatat oleh mereka yang menaruh perhatian terhadap masalah itu yang paling jelas adalah berbagai bentuk ketidakadilan yang mempengaruhi pribadi Sebuah contoh adalah banyaknya kematian sebagai akibat kekurangan makanan karena bantuan untuk mereka dicuri oleh orang-orang yang korupsi. Hal yang sama ialah pemalsuan obat-obatan penting dalam berbagai situasi darurat. Banyak sekali contoh ketidakadilan dan orang tidak perduli dan enggan bersusah payah menagganinya.
Korupsi tidak hanya mempengaruhi manusia dalam kehidupan ekonomi dan politiknya belaka melainkan juga dalam pertumbuhan rokhaniah dan filsafatnya. Di segi filsafat, korupsi menumbuhkan nihilisme dan sinisisme. Sebaliknya ia pun ditumbuhkan oleh dua hal tersebut. Korupsi melahirkan berbagai masalah rumit seperti larinya tenaga-tanaga ahli ke luar negeri. Yang dimaksud dengan masalah rumit ialah masalah yang unsur utamanya korupsi yang berpadu dengan unsur-unsur lain hingga membentuk keseluruhan yang rumit. Ketidakefisienan administratif dan parasitisme adalah contoh masalah rumit yang lain (Alatas, 1987:177).
Ketidakpedulian disertai dengan meremehkan sikap masyarakat terhadap kekuasaan pemerintah dan segenap kehidupan pada umunnya. Sikap masa bodoh mempengaruhi berbagai kehidupan masyarakat melalui aneka macam akibat yang timbul. Pertama sikap ini mempengaruhi hakikat selanjutnya mungkin sekali bentuk lembaga. Maka sebuah kampus yang sudah kejangkitan wabah sikap masa bodoh mungkin masih tetap manjalankan aktivitas eksternal tidak yang bersifat lahiriah. Perkuliahan diselenggarakan, sidang tahunan diadakan, jubah kesarjanaan dikenakan di dalam upacara-upacara, laporan ditulis, rapat-rapat dilangsungkan, dan konferensi pers diselenggarakan.
Dalam hal itu, semangat lembaga menjadi lumpuh. Yang pertama di antara matarantai sebab-akibat berupa hancurnya patokan-patokan akadimis. Kenaikan jenjang di dalam karier akademis  tidak benar-benar didasarkan pada karya penelitian dan penerbitan seseorang, melainkan berkat koneksi, sikap menjilat, kebutuhan administratif atau sekedar kemampuan manaiki tangga karier. Para dosen sama sekali tidak berminat pada matakuliah yang dipegangnya, tidak ada perhatian intelektual terhadap masalah pendidikan, tidak mempunyai kecenderungan banyak pembaca agar dapat memperoleh pengetahuan mutakhir dalam bidangnya, tidak ada dorongan untuk mendiskusikan masalah yang diminatinya, dan akhirnya tidak mempunyai harga diri. Pekerjaan rutin ia lakukan tanpa semangat dalam dari jiwanya    (Alatas, 1987:182).
Pengaruh korupsi yang merugikan mudah meluas dan beranekaragam. Begitu mudahnya korupsi berpengaruh pada suatu organisasi, dengan sikap masa bodoh yang dilindungi dengan sikap pilih kasih dan pengaruh-pengaruh lain, menciptakan masalah-masalah yang tak terhitung banyaknya  dan akibat-akibat yang berat bagi rakyat. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat dapat dikelompokkan ke dalam dua kecenderungan umum, yang berpengaruh pada masyarakat dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri. Korupsi tidak hanya terbatas pada transaksi yang korupsi yang dilakukan dengan sengaja oleh dua pihak atau lebih, melainkan juga meliputi akibat-akibat yang timbul dari perilaku orang yang korupsi.
Korupsi yang menyuburkan jenis kejahatan lain di dalam masyarakat. Melalui sindikat kejahatan perseorangan dapat membengkokkan hukum, menyusupi organisasi negara, dan memperoleh kehomatan. Secara luas dikenal di India, bahwa para penyelundup yang terkenal menyusup ke dalam tubuh partai dan memegang jabatan. Di Amerika Serikat, misalnya, melalui pemberian suap, polisi yang korupsi memberi perlindungan kepada organisasi-organisasi penjahat. Sebagai akibat pengaruh metastatikannya, korupsi menyebar dari satu bidang ke bidang lain. Hal itu mungkin semula hanya berupa pemberian dangan tujuan yang tersembunyi (Alatas, 1987:186).
Penerimaan uang suap kecil-kecilan yang merupakan pelanggaran yanbg kurang serius ini dapat berkembang ke bidang-bidang yang lebih serius, yakni kejahatan. Pemerasan juga dilakukan terhadap mereka yang dapat diperas. Hal ini seterusnya akan menjurus ke arah konsolidasi organisasi penjahat. Kejahatan yang keorganisasi mempunyai kaitan dengan korupsi yang terorganisasi. Watak dari keduanya tercakup dalam satu definisi yang sama. Definisi dari Cressey (dalam Alatas, 1987:187) tentang kejahatan yang terorganisasi. Definisinya adalah sebagai berikut;
 Kiranya berguna untuk menjelaskan, pada tingkat permulaan bahwa suatu kejahatan yang terorganisasi ialah semua kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang berkedudukan di dalam suatu bidang kerja yang mapan yang dirancang untuk melakukan kajahatan. Pernyataan awal ini menujukkan pada kita bahwa semua kegiatan penjahat yang lain melalui aturan-aturan, sebagaimana kegiatan seorang kasir toko pengecer  dikoordinasikan dengan kegiatan pegawai gudang, pramuniaga, dan pemegang buku. Definisi tersebut juga menyatakan bahwa setiap pejahat yang terorganisasi menempati suatu kedudukan dalam serangkaian kedudukan yang ada secara terlepas dari orang-orangnya. Masing-masing mempunyai kewajiban, tugas, dan hak-hak yang disebut secara khusus di dalam perincian kerja dan perangkat peraturan lain di dalam kepegawaian pemerintah.
Pengaruh kolektif dan komolatif dari korupsi adalah melemahkan semangat perangkat birokrasi dan mereka yang menjadi korban. Pengaruh pertama yang melemahkan itu ialah pelayanan palsu.  Kerja yang dilakukan oleh orang yang korupsi tidak lulus. Ia tidak menaruh minat pada kerja itu. Dengan demikian seorang kepala polisi yang terlibat di dalam penyelundupan obat bius dan korupsi yang merajalela tidak akan mencurahkan kemampuannya yang terbaik untuk pekerjaan itu, tidak akan mencurahkan waktu sepenuhnya untuk memikirkan pekerjaannya. Kegiatannya yang tampak hanya dirancang sekedar untuk mengesahkan kehadirannya pada kedudukan yang ditempati yaitu. Ia tidak mempunyai minat yang sesungguhnya di dalam pekerjaan. Maka kerjanya hannyalah sesuatu yang semu sebagai ganti sesuatu yang murni yang tidak ia lakukan (Alatas, 1987:188).
Korupsi umumnya meruigikan pembangunan ekonomi, politik, dan organisasi. Namun semua bentuk korupsi tidak sama rata, beberapa lebih merugikan dari pada yang lain. Perbedaan itu bukan sekedar dalam luasnya, yang tentu saja penting, tetapi juga dalam hakekatnya serta keadaan di mana korupsi itu terjadi. Korupsi itu terkadang merupakan sarana untuk tujuan-tujuan politik, tetapi korupsi dapat juga menuntut biaya politik yang besar. Korupsi juga dapat menjadi sebuah alat untuk membeli kesetiaan politik, yang ikut serta dalam sebuah kelompok. Sebaliknya, apabila dampaknya sudah meluas, korupsi dapat mengakibatkan keterangan masyarakat serta ketidakstabilan politik.
Semakin banyak bukti menumpuk tentang korupsi  di negara-negara berkembang, dan lebih jelas bahwa pengaruh buruk korupsi jauh lebih besar dari pada manfaat sosialnya. Menurut ilmuan politik Joseph Nye (Klitgaard, 1998:48), secara sistematis memperkirakan kemungkinan manfaat dan biaya berbagai kategori korupsi. Kesimpulannya ialah korupsi itu lazimnya merugikan. Kita dapat memperluas pernyataan umum tentang korupsi dan pembangunan politik sehingga berbunyi: Mungkinkah bahwa biaya korupsi di negara-negara yang kurang maju akan melampaui manfaatnya kecuali apabila korupsi tingkat puncak yang menyangkut bujukan-bujukan canggih dan penyimpangan kecil dan di mana korupsi menjadi satu-satunya solusi bagi hal-hal yang menghambat pembangunan.

C.      Kejadian Tingkah Laku korupsi
Korupsi adalah masalah dunia dan korupsi banyak dijumpai di dalam pemerintah. Pemarintah daerah yang dituduh tidak mampu menjalankan kewajibannya, tetapi juga dituduh menyelewengkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan sangat beraneka ragam.
Sulit untuk mengukur apakah korupsi meningkat atau menurun. Informasi mengenai korupsi sedikit sekali dan dapat memberikan gambaran yang salah. Seperti kata John T. Noona (Klitgaard, dkk, 2005:11), dalam bukunya mengenai sejarah korupsi, mungkin saja ter- jadi bahwa sebuah negara telah banyak membawa perkara korupsi kemeja hijau, dibandingkan dengan negara lain, tetapi dalam kenyataan tindak korupsi di negara ini sebenarnya tidak banyak, dan ini semata-mata karena Negara itu punya kemauan yang tinggi dan kemampuan yang tinggi pula untuk membasmi korupsi.
            Menurut Lubis dan James (1993:11),  tingkah laku korupsi digolongkan secara gampangan dalam tiga kategori, yaitu, Korupsi kecil, rutin dan menjengkelkan.
1.        Korupsi Kecil
Korupsi kecil mengacu pada pembelokan peraturan resmi demi keuntungan teman, sebagaimana diwujudkan dalam laporan yang agak tidak jujur mengenaisoal-soal rinci, pengabaian tanggal keputusan (cut-off dates), “penetapan” karcis parkir, dan lain-lain. Hal itu banyak sekali terjadi dalam keempat lingkungan, meskipun bukan praktek menurut standar dalam kota yang mempunyai dasar warga kebudayaan, dengan kemungkinan tidak akan disukai penganut perisme, akan tetapi akan dimanfaatkan oleh pengusaha yang praktis. Dalam masyarakat majikan pratonase hal itu banyak sekali dilakukan, bahkan di kalangan semua perima penghargaan ”kolom-kolom surat kabar” (Lubis dan James, 1993:12).
2.        Korupsi Rutin
      Beberapa dari praktek yang tercantum dalam katagori korupsi rutin, sampai taraf tertentu memang  terjadi dalam kota-kota yang berdasarkan warga kebudayaan, akan tetapi biasanya hanya dalam bentuknya yang sudah disaring melalui pengolektifan penerima. Jadi, penyumbang kampanye untuk dana partai politik dapat memenangkan suatu taraf preferensi sebagai penawar kontrak atau calon pejabat yang diangkat. Sebaliknya, dalam kota dengan hubungan majikan patronase (boss-patronage) sebagaian besar dari praktek ini adalah produser pelaksana yang baku atau yang banyak dilakukan, dengan sebagaian besar dari keuntungan materiil bertumpuk pada perorangan (Lubis dan James, 1993:13).
3.        Korusi yang Menjengkelkan
      Dalam masyarakat yang berdasar atas warga kebudayaan, peristiwa korupsi yang menjengkelkan jarang sekali terjadi, kalau memang ada. Diantara masyarakat-masyarakat yang berdasarkan hubungan majikan petronase, justru frekuensi kejadian korupsi yang menjengkelkan inilah yang membedakan pembaharuan dari masa dikotori oleh aib, atau kota korupsi dari kota mesin. Jadi, sebagaian besar dari keanekaragaman tingkah laku kurupsi hanya terjadi kadang-kadang dalam kota mesin yang diperintah lebih baik di Amerika abad ke-20, akan tetapi variasi itu merupakan praktek standar dalam kota yang oleh John A. Gardiner disebut Wincanton (Lubis dan James, 1993:14).
Ilmuan politik, Samuel P. Huntington (Klitgaard, 1998:88) dalam buku klasiknya tentang pembangunan politik mengutarakan beberapa pendapat tentang kondisi-kondisi yang menguntungkan korupsi dalam pemerintahan. Korupsi cenderung meningkat dalam suatu periode pertumbuhan serta modernisasi yang cepat, karena perubahan nilai-nilai, sumber-sumber baru kekayaan, kekuasaan, dan perluasan pemerintahan. Di negara-negara dengan lebih banyak stratifikasi sosial, lebih banyak kecenderungan feodal, korupsi cenderung berkurang. Sebab keadaan ini memberikan suatu sistem norma dan sanksi-sanksi yang lebih luas, mengurangi baik peluang maupun daya tarik perilaku korupsi. Di Amerika Latin, negara-negara mulatto lebih banyak mengalami korupsi daripada negara-negara Indian atau Mestizo, Afrika hitam juga tingkat korupsinya tinggi. Penyebabnya, tutur Huntington, bukan karena ras itu sendiri melainkan gejala yang terkait di negeri-negeri ini yaitu, tiadanya pembagian kelas pada umumnya. Rasio akses politik terhadap akses ekonomi disuatu negara mempengaruhi sifat korupsi tersebut. Apabila akses politik lebih berat daripada akses ekonomi, maka orang akan memasuki arena politik demi memperoleh uang dan ini dapat mengurus pada semakin luasnya korupsi politik dan korupsi ekonomi. Apabila banyak ditemukan perusahaan-perusahaan asing disuatu negara, korupsi cenderung meningkat. Semakin partai-partai politik itu kurang berkembang mekar, semakin meluas korupsinya, lantaran lemahnya kontrol.
Pemerasan adalah bentuk korupsi yang sangat menjengkelkan, cenderung membuat marah warga yang menjadi korban. Semakin korupsi itu merajalela ke masyarakat luas secara langsung dan negatif, semakin besar pula kemungkinan tumbuhnya rasa tidak puas masyarakat.    

D.       Ideolegi Korupsi               
            Dalam hal korupsi,  penyumbang utama dalam menciptakan ideologi korupsi yang terselubung itu adalah sejumlah kecil wartawan dan beberapa guru besar perguruan tinggi. Mereka mungkin tidak sadar terhadap apa yang mereka lakukan, yaitu membantu dan mendorong praktek korupsi yang menawarkan bahan-bahan untuk ideologi korupsi yang diperlukan oleh orang yang korupsi. Tulisan mereka mempunyai pengaruh yang mengecilkan arti pemerasan, ketidakadilan dan kekejaman yang dilakukan terhadap bagian terbesar umat manusia.
            Pada intinya korupsi adalah perwujudan memperoleh sesuatu dengan pencurian dan penipuan. Dalam bentuknya yang bersifat memaksa ia merampas dengan disertai kekerasan. Ada keraguan, apakah kita dapat berbicara tentang ideologi korupsi, karena biasanya ideologi secara terbuka menunjang kepentingan kelas yang memerintah dan menjadi sarana untuk mempertahankan kekuasaan. Mereka yang terlibat di bidang kejahatan tidak bersikap terbuka mengenai diri dan kepentingan mereka. Kiranya tidak mungkin mereka secara terbuka menyatakan ideologi kejahatan. Oleh karena itu, dalam hal ini pun kebohongan digunakan. Mereka membiarkan orang lain yang mengatakan, karena untuk alasan tertentu mereka dianggap memadai sebagai juru bicara kepentingan kejahatan (Alatas, 1987:225).
                        Kita tidak akan membahas berbagai gagasan yang dilontarkan berkenaan dengan manfaat korupsi, tetapi sekedar membicarakan jenis genetiknya. Membahas semua gagasan tersebut memerlukan penulisan buku tersendiri dan keuletan khusus untuk membongkar mana yang merupakan masalah serius dan mana yang sepele. Kita akan memusatkan perhatian pada dua buah karya yang dapat dianggap sebagai dasar pandangan terhadap korupsi yang mengandung nilai ganda itu. Yang pertama adalah buku yang ditulis  dengan bantuan Certer for Internasional Affairs, Universitas Harvard, oleh Samuel P. Huntington. Buku ini sangat bermanfaat untuk dibahas karena cacat-cacatnya multidimensional. Cacat tersebut tidak hanya dalam hal generalisasi, ketepatan sejarah, penafsiran dan penalarannya, melainkan juga dalam hal etika. Juga terdapat kekurangan pada pembatasan pilihan kalimat-kalimatnya (phrase). Kita akan menanggapinya juga dengan mengabaikan pembatasan kita akan pilihan kalimat untuk menggambarkan buku yang berisi kekacaubalauan pikiran yang canggih itu (Alatas, 1987:226). Contoh menurut Samuel P. Huntington:
Persentuhan barat pertama kalinya dengan medernisme cenderung menumbuhkan ukuran-ukuran puritan yang tidak masuk akal bahkan seperti yang berlaku di kalangan kaum puritan sendiri. Semakin tingginya nilai-nilai ini menjurus ke arah penolakan terhadap tawar-menawar dan kompromi yang sangat penting dalam politik dan mempromosikan penyamaan antara politik dengan korupsi. Bagi seorang fanatikus modernis, janji seorang politikus untuk membangun saluran pengairan bagi para petani di sebuah desa jika ia terpilih akan tampak sama korupsinya dengan tawaran untuk membayar setiap suara penduduk desa sebelum berlangsung pemilihan    (Alatas, 1987:227).
            Kita tertarik pada pendapatnya mengenai beberapa jenis dan banyaknya korupsi yang bermanfaat bagi pembangunan, walaupun memang menyatakan bahwa korupsi cenderung melemahkan birokrasi pemerintahan. Namun, tidak semua pernyataannya kabur walaupun keseluruhan uraiannya tidak terpadu dan berkepanjangan. Pada hematnya, korupsi yang memperkuat partai politik menunjang pembangunan politik. Dengan demikian, hal-hal yang merupakan penyakit dunia ketiga, nepotisme politik, korupsi dan pemerasan yang dilakukan oleh partai dan pemimpin politik, korupsi dan pemerasan yang dilakukan oleh partai dan pemimpin politik, dianjurkan oleh Huntington. Setelah mengutip pendapat James Harrington dan salah penafsirkannya (dalam Alatas, 1987:233), bahwa korupsi dalam suatu pemerintahan disebabkan oleh korupsi yang lain, dari suatu karya mengenai teori politik, ia mengatakan :
Demikian pula, korupsi yang dilakukan oleh suatu badan pemerintahan dapat membantu timbulnya pada badan-badan yang lain. Dikebanyakan negara yang sedang mengalami proses modernisasi, birokrasi berkembang terlalu maju dibandingkan dengan lembaga-lembaga yang bertanggungjawab bagi lahirnya berbagai kepentingan dan yang menangani berbagai masukan bagi sistem politik itu. Sejauh birokrasi pemerintahan korupsi demi kepentingan partai-partai politik, perkembangan politik mungkin akan tertolong dan bukannya terhalang. Patronase terhadap partai hanyalah bentuk korupsi lunak, kalau memang pantas disebut demikian.




BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
              Korupsi adalah penggunaan jabatan untuk tujuan di luar kepentingan pribadi dan terdiri atas suap, pemalsuan, pemerasan, uang pelicin, penggelapan, dan sebagainya. Kita cenderung melihat korupsi sebagai dosa pemerintah, karena itu kita harus bersama-sama mencari jalan keluar. Semakin luas sebaran korupsi tentu kita harus lihat. Pada umumnya, bagian terbesar sistemyang mampu menangkal korupsi, sedangkan sistem yang sudah rusak parah dan mungkin saja dapat sehat kembali karena ada korupsi. Tetapi bila korupsi sudah menyusup ke mana-mana dampaknya bisa melumpuh. Jadi, meski korupsi dijumpai disetiap pemerintah daerah dan disetiap negara, namun jenis dan penyebarannya berbeda-beda. Korupsi yang paling berbahaya adalah korupsi sistematis, korupsi yang merusak aturan main. Korupsi sistematis adalah korupsi yang menyebabkan sebagian besar negara yang berkembang tetap tidak berkembang.
              Program pemerintah untuk menanggulangi atau melenyapkan korupsi terrgantung pada keadaaan dan kemauan pada kelompok pemimpin. Penyusunan program tergantung pada kesadaran mereka yang terlibat korupsi. Begitu pula dengan suatu pemerintah yang menetapkan untuk memberantas korupsi dan mempunyai kesempatan untuk mengubahnya secara bertahap.
Pada akhirnya saya akan menutup makalah ini dengan kata-kata Sari Mehmed Pasha (Alatas, 1993:315), bendahara kerajaan Turki dan penulis sebuah buku mengenai Krida negara (statecraft), yang dihukum berat pada tahun 1717 M oleh pemerintahan yang mengabdi selama lima puluh tahun. ia mengatakan:
Penyuapan adalah biang keladi dan akal segala pelanggaran hukun dan kesewenang-wenangan, sumber dan landasan segala macam gangguan dan benih-benih pemberontakan, kejahatan dan bencana yang paling besar. Tidak ada yang membawa bencana lebih besar bagi rakyat negara Islam atau yang lebih merusak sendi-sendi agama dan pemerintahan daripada korupsi yang tidak ada habis-habisnya. Tidak ada penyebab ketidakadilan dan kekejaman yang lebih besar daripada korupsi, karena penyuapan menghancurkan baik iman maupun negara.


DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syed Hussain. 1987. “Korupsi”. Terjemahan dari Corruption its nature, causes and functions. Nirwono. Jakarta: LP3ES.
Lubis, Mochtar dan James C. Scott. 1993. “Korupsi Politik”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Klitgaard, Robert, dkk. 2005. “Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah”. Terjemahan dari Corrupt Cities. A Proctica! Guide to Cure and Prevention. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
 Klitgaard, Robert. 1998. “Membasmi Korupsi”. Terjemahan dari Controlling Corruption. Hermoyo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Simanjutak, Frenky. Tanpa Tahun. “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Suap”. Indonesia : Transparency Internasional.

Tidak ada komentar: